Sengketa Transfer Pricing (TP) di Indonesia seringkali melibatkan ketidaksepakatan fundamental mengenai metode dan data pembanding yang paling tepat. Kasus banding PT MHP menjadi studi kasus penting yang menggarisbawahi bahwa dalam transaksi afiliasi domestik, beban pembuktian DJP melampaui sekadar penemuan harga. PT MHP, perusahaan di sektor Hutan Tanaman Industri, menghadapi koreksi PPh Badan sebesar USD13.004.942 karena harga jual kayu kepada afiliasi domestik (PT TEL) dianggap tidak wajar.
Inti konflik dalam sengketa ini terletak pada validitas komparabilitas data. DJP berargumen bahwa Metode CUP (Comparable Uncontrolled Price) adalah yang paling tepat karena kayu adalah komoditas. DJP menggunakan data internal dari transaksi ganti rugi investasi/pinjam pakai lahan dengan pihak independen sebagai pembanding. DJP menilai harga jual PT MHP ke afiliasi berada di bawah median harga wajar dan menduga adanya motif penghindaran pajak melalui pengaturan harga yang rendah untuk memanfaatkan kompensasi kerugian fiskal. PT MHP, di sisi lain, menolak CUP. Mereka berargumen bahwa bisnis kehutanan memiliki rantai nilai (value chain) yang kompleks (penanaman, penebangan, pengolahan) sehingga Metode TNMM dengan indikator Full Cost Mark-Up (FCMU) adalah yang paling sesuai. Terpenting, PT MHP menilai data ganti rugi yang digunakan DJP secara substansial dan fungsional tidak sebanding dengan transaksi penjualan kayu murni.
Resolusi sengketa ini datang dari Majelis Hakim yang secara tegas membatalkan seluruh koreksi TP. Majelis tidak hanya menguatkan dalil PT MHP tentang ketidaksebandingan data pembanding DJP—mengingat DJP gagal melakukan analisis kesebandingan (comparability analysis) yang diwajibkan oleh regulasi—tetapi Majelis juga menyoroti kelemahan prosedural DJP. Majelis menegaskan bahwa untuk TP domestik, DJP gagal membuktikan adanya risiko penghindaran pajak yang substansial. Lebih lanjut, DJP juga tidak menunjukkan bukti telah dilakukannya corresponding adjustment (koreksi penyeimbang) pada lawan transaksi, sebuah kewajiban penting untuk mencegah pajak berganda ekonomis dan menjamin keadilan fiskal.
Analisis putusan ini menunjukkan bahwa kemenangan Wajib Pajak terletak pada penggabungan pembuktian substansi dan prosedur. Implikasi putusan ini signifikan: bagi Wajib Pajak di sektor komoditas dengan value chain kompleks, putusan ini memvalidasi pendekatan berbasis laba seperti TNMM dan memberikan amunisi untuk menolak pembanding harga yang tidak pure. Kasus ini memberikan pelajaran berharga bagi praktik perpajakan, menegaskan bahwa DJP harus mematuhi prinsip keadilan fiskal, termasuk kewajiban melakukan Corresponding Adjustment, sebelum menetapkan koreksi TP. Kepatuhan Wajib Pajak dalam menyusun Dokumen TP yang in-depth dan defensif, terutama pada bagian Analisis Fungsional (FAR), menjadi kunci untuk memitigasi risiko sengketa.